Gambar2. Silsilah Mahabarata Versi Pustaka Jawa 14 Tokoh-tokoh yang pernah dipuja pada zaman Pra Sejarah, seperti Hyang Tunggal, Hyang Wenang, dimasukkan ke dalam silsilah Mahabharata dan dijadikan leluhur para Pandawa yang menurunkan raja-raja Jawa, sehingga merupakan silsilah campuran antara kepercayaan Hindu dan kepercayaan zaman Pra Sejarah.
CeritaWayang Kulit ( Danurwenda ) Arya Danurwenda adalah putra Arya Anantareja, raja negara Jangkarbumi dengan permaisuri Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa dari negara Tasikraja. Ketika berlangsungnya perang Bharatayuda, Arya Danurwenda masih kecil. Ia tetap tinggal di kahyangan Saptapratala bersama kakeknya, Hyang Anantaboga.
CeritaWayang Bahasa Jawa Pandawa Sumber : remahilalangindonesia.wordpress.com. Pandhawa lima utawa Mahabarata yaiku cerita wayang kang paling digandrungi wong jawa lan nusantara. Pandhawa iku sadulurane lanang cacahe ana lima, mula terus kaprah diarani Pandhawa Lima. Ing cerita Mahabharata , Yudhistira utawa Puntadewa iku minangka putra pambayun.
Kaliini penulis merangkum 5 tokoh wayang yang memiliki kemampuan layaknya superhero, Check it out! Perbesar. Gambar: Bima/Werkudara (Wikimedia Commons) 1. Bima. Bima adalah anak dari Prabu Pandu, raja Astinapura dan Dewi Kunti, orang tua dari Pandawa. Oleh karena itu, Ia juga anggota dari Pandawa.
CeritaWayang Mahabarata Bahasa Jawa Lengkap Author: spenden.medair.org-2022-07-21T00:00:00+00:01 Subject: Cerita Wayang Mahabarata Bahasa Jawa Lengkap Keywords: cerita, wayang, mahabarata, bahasa, jawa, lengkap Created Date: 7/21/2022 8:34:52 AM
Keseluruhancerita Mahabarata itu terbagi menjadi 18 jilid / parwa. Itulah sebabnya cerita Mahabarata juga disebut sebagai Asta Dasa Purwa. (Asta=hasta=delapan, dasa=sepuluh, parwa=jilid). Kalau keliru, mohon kritik dan sarannya ya. Meski berasal dari India, cerita Mahabarata ini sangat terkenal di Indonesia, khususnya pada suku Jawa
Dulu ketika kerajaan Nusantara masih bercorak Hindu Buddha, bahan cerita wayang yang populer tentu saja Mahabarata dan Ramayana yang diambil dari India. Kedua cerita itu digubah dan digabung dengan Legenda Jawa Kuno seperti Sri-Sadana, Asal Muasal Gunung Merapi, Sri Mahapunggung, dll, agar lebih sesuai dengan kondisi sosial nusantara saat itu.
xzT35lg. - Kitab Mahabharata adalah salah satu karya besar dari India yang dianggap suci dan paling istimewa bagi pemeluk agama Hindu. Isinya menceritakan tentang perang antara Pandawa dan Kurawa dalam memperebutkan takhta Hastinapura. Kitab Mahabharata disusun oleh Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa. Di Indonesia, salinan dari berbagai bagian Kitab Mahabharata telah digubah dalam bentuk kakawin berbahasa Jawa Kuno oleh para pujangga ternama sejak akhir abad ke-10. Kitab Mahabharata juga diakui sebagai salah satu wiracarita terpanjang di dunia yang memiliki lebih dari sloka dengan sekitar 1,8 juta kata. Panjangnya ini diperkirakan empat kali lebih panjang daripada Kitab Ramayana. Baca juga Kitab Ramayana Penulis, Isi, dan Kisahnya Pembagian dan isi Kitab Mahabharata Mahabharata merupakan kisah epik yang terbagi ke dalam 18 bagian yang disebut belas parwa ini dikenal dengan sebutan Astadasaparwa asta=8, dasa=10, parwa=kitab. Rangkaian parwa ini menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahabharata, yaitu sejak kisah para leluhur Pandawa dan Kurawa, hingga diterimanya Pandawa di surga. Adapun pembagian dan isi Kitab Mahabharata adalah sebagai berikut. Adiparwa Bagian ini mengisahkan tentang silsilah serta masa kanak-kanak Pandawa dan Kurawa. Karena keculasan dan watak buruk Kurawa, kedua belah pihak menjadi sering berselisih paham sejak kecil. Sabhaparwa Kitab Sabhaparwa berisi kisah tentang usaha Kurawa untuk membinasakan Pandawa. Karena kalah dalam permainan dadu, Pandawa harus menjalani hukuman dengan hidup dalam pembuangan di tengah hutan selama 12 tahun. Wanaparwa Wanaparwa menceritakan tentang suka duka Pandawa ketika 12 tahun hidup dalam pembuangan di tengah hutan. Wirataparwa Kitab Wirataparwa menceritakan tentang penyamaran Pandawa selama satu tahun di Keraton Wirata setelah selesai menjalani pengasingan di hutan. Baca juga Kitab Sutasoma Pengarang, Isi, dan Bhinneka Tunggal Ika Udyogaparwa Bagian ini menceritakan tentang kembalinya Pandawa ke Indraprastha setelah menjalani masa pembuangan. Ternyata, Kurawa tidak mau mengembalikan separuh bagian Kerajaan Hastinapura kepada Pandawa. Kedua belah pihak siap berperang di Kuruksetra setelah upaya damai yang diusulkan oleh Kresna gagal. Bhismaparwa Bhismaparwa berisi tentang kisah Bhisma yang menjadi panglima perang Kurawa, sedangkan Kresna sebagai penasihat dan pengatur siasat perang bagi Pandawa. Bagian ini juga menceritakan tentang keberhasilan Srikandi dan Arjuna dalam mengalahkan Bhisma. Dronaparwa Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Kurawa. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestayumna ketika sedang tertunduk lemas tatkala mendengar kabar kematian anaknya, Aswatama. Kitab ini juga menceritakan tentang gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca. Karnaparwa Karnaparwa bercerita tentang pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh kitab ini juga diceritakan ketika Dursasana gugur dan kematian Karna di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17. Baca juga Kitab Negarakertagama Sejarah, Isi, dan Maknanya Salyaparwa Kitab ini berisi kisah penyesalan Duryudhana atas perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu lantas menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryudhana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian ini, Duryudhana akhirnya gugur. Sauptikaparwa Sauptikaparwa bercerita tentang pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Peristiwa yang menggugurkan banyak tentara Pandawa ini membuat Aswatama menyesal dan memilih untuk menjadi pertapa. Striparwa Bagian ini mengisahkan tentang ratapan kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka bertempur di medan perang. Selain itu, Yudhistira diceritakan menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Santiparwa Dalam Santiparwa diceritakan pertikaian batin Yudhistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan perang. Akhirnya, ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna, yang menjelaskan rahasia serta tujuan ajaran Hindu agar Yudhistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai raja. Anusasanaparwa Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudhistira kepada Rsi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang raja, dan masih banyak lainnya. Baca juga Wujud Akulturasi Budaya Lokal dengan Hindu-Buddha Aswamedhikaparwa Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudhistira. Selain itu, bagian ini juga menceritakan tentang pertempuran Arjuna dengan para raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula meninggal dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, tetapi dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. Asramawasikaparwa Berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka juga menyerahkan takhta sepenuhnya kepada Yudhistira. Mosalaparwa Mosalaparwa menceritakan kisah Pandawa dan Drupadi yang menempuh hidup "sanyasin" atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana. Prasthanikaparwa Kitab ini menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Drupadi ke puncak Gunung Himalaya, sementara takhta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Drupadi dan Pandawa kecuali Yudhistira meninggal. Swargarohanaparwa Swargarohanaparwa menceritakan tentang kisah Yudhistira yang berhasil mencapai puncak Gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia dan menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan binatang itu. Anjing tersebut kemudian menampakkan wujudnya yang sebenarnya, yaitu Dewa Dharma. Referensi Wismulyani, Endar. 2018. Kitab-Kitab dari Abad Silam. Klaten Cempaka Putih. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Indonesia Mahabarata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Bhagawan Byasa atau Wyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka, seratus orang Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di Kurukshetra dan pertempuran tersebut berlangsung selama delapan belas hari. Ringkasan Cerita Mahabarata Kisah Mahabharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Kurawa Baca Juga Berdirinya Negara Hastina Gatotkaca Kembar Perkawinan Yudhisthira dengan Drupadi Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan 7 anak, akan tetapi semua ditenggelamkan ke laut Gangga oleh Dewi Gangga dengan alasan semua sudah terkena kutukan. Akan tetapi kemudian anak ke 8 bisa diselamatkan oleh Prabu Santanu yang diberi nama Dewabrata. Kemudian Dewi Ganggapun pergi meninggalkan Prabu Santanu. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citranggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, Bisma pergi ke Kerajaan Kasi dan memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citranggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya, sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kalau versi Jawa, Srikandi adalah seorang wanita sejati Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Citranggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi dipanggil untuk mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Drestarastra. Kemudian Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa ke dalam sebuah kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putra yang buta Drestarastra seperti yang telah dilakukan Ambika Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan Byasa yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu putranya, ayah para Pandawa, terlahir pucat. Drestarastra dan Pandu mempunyai saudara tiri yang bernama Widura. Widura merupakan anak dari Resi Byasa dengan seorang dayang Satyawati yang bernama Datri. Pada saat upacara dilangsungkan dia lari keluar kamar dan akhirnya terjatuh sehingga Widura pun lahir dengan kondisi pincang kakinya. Dikarenakan Drestarastra terlahir buta maka tahta Hastinapura diberikan kepada Pandu. Pandu menikahi Dewi Kunti,kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Dewi Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Atas bantuan mantra yang pernah diberikan oleh Resi Druwasa maka Dewi Kunti bisa memanggil para dewa untuk kemudian mendapatkan putra. Pertama kali mencoba mantra tersebut datanglah Batara Surya, tak lama kemudian Kunti mengandung dan melahirkan seorang anak yang kemudian diberi nama Karna. Tetapi Karna kemudian dilarung kelaut dan dirawat oleh Kurawa, sehingga nanti pada saat perang Bharatayudha, Karna memihak kepada Kurawa. Kemudian atas permintaan Pandu, Kunti mencoba mantra itu lagi, Batara Guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu Yudistira, setahun kemudian Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, Batara Guru juga mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Arjuna dan yang terakhir Batara Aswan dan Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Dewi Gendari, dan memiliki sembilan puluh sembilan orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Kurawa. Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Kurawa khususnya Duryudana bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Kurawa, yaitu Drestarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sengkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryudana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa Pada suatu ketika, Duryudana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryudana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa bisa diselamatkan oleh Bima yang telah diberitahu oleh Widura akan kelicikan Kurawa sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. diceritakan dalam lakon Bale Sigala-gala Di hutan tersebut Bima bertemu dengan raksasa bernama Arimba yang ingin membalas dendam kematian Ayahnya yaitu Arimbaka dalam pedalangan Jawa disebut Trembaka, Bima unggul dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu raseksi Hidimbi atau Arimbi yang jatuh hati pada Bima. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Pancala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Adipati Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Drupadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana. Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna memenangkan sayembara senjata Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula Sadewa memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik untuk memenangkan sayembara. Drupadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa yang dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang Satriya Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Dalam Pedalangan Jawa Drupadi hanya menjadi istri Yudistira / Puntadewa seorang. Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Kurawa. Kurawa memerintah Kerajaan Kuru induk pusat dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryudana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Drupadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryudana mengundang Yudistira untuk main dadu, ini atas ide dari Arya Sengkuni. Pada saat permainan dadu, Duryudana diwakili oleh Sengkuni sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Permulaan permainan taruhan senjata perang, taruhan pemainan terus meningkat menjadi taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit dipertaruhkan, dan sampai pada puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah habislah semua harta dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang terakhir istrinya Drupadi dijadikan taruhan. Akhirnya Yudistira kalah dan Drupadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryudana. Duryudana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Drupadi, namun Drupadi menolak. Setelah gagal, Duryudana menyuruh Dursasana adiknya, untuk menjemput Drupadi. Drupadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Drupadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Drupadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha. Drupadi yang merasa malu dan tersinggung oleh sikap Dursasana bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum dikramasi dengan darah Dursasana. Bima pun bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Drestarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan. Duryudana yang merasa kecewa karena Drestarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun. Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryudana. Namun Duryudana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Setyaki, Drestadjumna, Srikandi, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryudana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Kurawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa. Kurawa dibantu oleh Resi Dorna dan putranya Aswatama, kakak ipar para Kurawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, Karna, dan masih banyak lagi. Bharatayuda Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Prabu Matswapati dan puteranya Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka, Bhogadatta, Sengkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah Lima Pandawa,Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa dan Kartamarma. Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura bergelar Prabu Kalimataya Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Drupadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. Diceritakan dalam kisah Pandawa Seda Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama Bhamustiman dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura. Sunda Mahabarata mangrupikeun karya sastra kuno anu cenah ditulis ku Bhagawan Byasa atanapi Wyasa ti India. Buku ieu diwangun ku dalapan belas buku, ku sabab kitu disebat Astadasaparwa. Nanging, aya ogé anu percanten yén carita ieu saleresna mangrupikeun kumpulan seueur carita anu tadina sumebar, dikumpulkeun ti abad ka 4 SM. Sakeudeung, Mahabharata nyarioskeun carita konflik antara lima urang Pandawa sareng dulur-dulurna, saratus Koravia, ngeunaan perselisihan hak-hak karajaan Kuru, kalayan pusat pamaréntahan di Hastinapura. Klimaksna nyaéta perang Bharatayuddha di Kurukshetra sareng perang éta lumangsung dalapan belas dinten. Ringkesan Carita Mahabarata Carita Mahabarata dimimitian ku Raja Duswanta pendak sareng Sakuntala. Raja Duswanta mangrupikeun raja hébat ti Chandrawangsa, katurunan Yayati, nikah ka Sakuntala ti padepokan Bagawan Kanwa, teras ngutus Sang Bharata. Sang Bharata ngantunkeun Sang Hasti, anu teras ngadegkeun pusat pamaréntahan anu disebat Hastinapura. Sang Hasti ngutus Raja-raja Hastinapura. Tina kulawarga ieu, lahir Kuru, anu ngawasa sareng nyucikeun daérah ageung anu disebat Kurukshetra. Sang Kuru turun ti Dinasti Kuru atanapi Dinasti dinasti ieu, Pratipa lahir, anu janten ramana Raja Santanu, karuhun Pandawa sareng Kaurawa Baca ogé Ngadegna Nagara Hastina Gatotkaca Kembar Nikah Yudhisthira sareng Drupadi Prabu Santanu mangrupikeun raja anu kawasa ti katurunan Kuru, asalna ti Hastinapura. Anjeunna nikah ka Déwi Ganga, anu dikutuk pikeun turun ka dunya, tapi Déwi Ganga ninggalkeun anjeunna kusabab Sang Prabu ngalanggar janji nikahna. Hubungan antara Sang Prabu sareng Dewi Ganga ngahasilkeun 7 anak, tapi sadayana tilelep dina lautan Ganga ku Dewi Ganga ku alesan yén aranjeunna sadayana dilaknat. Tapi teras anak ka 8 disalametkeun ku Raja Santanu, anu dingaranan Dewabrata. Teras Dewi Ganggapun angkat ti Raja Santanu. Ngaran Dewabrata dirobih janten Bhishma sabab anjeunna ngalakukeun prishna bhishan, sumpah janten selibat salamina sareng henteu pernah nampi tahta bapakna. Éta sabab Bisma henteu hoyong anjeunna sareng turunanana bentrok sareng turunan Satyawati, indung tirina. Saatos Dewi Ganga angkat, Prabu Santanu akhirna janten duda. Sababaraha taun saatosna, Prabu Santanu neraskeun kahirupan nikahna ku nikah ka Déwi Satyawati, putri pamayang. Tina hubungan éta, Raja mangrupikeun putra ti Citranggada sareng kabagjaan duduluranna, Bisma angkat ka Karajaan Kasi sareng meunang sayembara sahingga anjeunna suksés ngantunkeun tilu putri anu namina Amba, Ambika, sareng Ambalika, kanggo dikawinkeun sareng adi-adi na. Kusabab Citranggada maot, Ambika sareng Ambalika nikah ka Wicitrawirya, sedengkeun Amba mikanyaah Bisma tapi Bisma nolak bogoh ka anjeunna kusabab anjeunna kabeungkeut sumpah yén anjeunna moal nikah salami-lami. Dina upaya ngajauhkeun Amba jauh ti anjeunna, anjeunna teu kahaja némbak panah kana dada Amba. Saatos pupusna, Bhishma dicarioskeun yén Amba engkéna bakal dijantenkeun réinkarnasi salaku pangeran anu ngagaduhan ciri awéwé, nyaéta putra Prabu Drupada, namina Srikandi. Dina vérsi basa Jawa, Srikandi mangrupikeun awéwé anu sajati. Engké pupusna ogé bakal aya dina panangan Srikandi anu ngabantosan Arjuna dina perang hébat di Kurukshetra. Citranggada pupus dina yuswa ngora dina perang, teras anjeunna diganti ku lanceukna, Wicitrawirya. Wicitrawirya ogé pupus dina yuswa ngora sareng teu ngagaduhan waktos ngagaduhan murangkalih. Satyawati ngutus dua pamajikan Wicitrawirya, nyaéta Ambika sareng Ambalika kanggo pendak sareng Rishi Byasa, kusabab éta Rishi dipanggil ngayakeun upacara kanggo aranjeunna ngagaduhan turunan. Satyawati nitah Ambika pendak sareng Rishi Byasa di rohangan upacara. Saatos Ambika lebet ka rohangan upacara, anjeunna ningali raheut Sang Rishi pikasieuneun ku soca anu hérang. Éta ngajantenkeun anjeunna nutup Ambika nutup panon nalika upacara, putrana lahir buta. Anakna nyaéta Drestarastra. Teras Ambalika dititah ku Satyawati pikeun nganjang ka Byasa di rohangan nyalira, sareng di sana anjeunna bakal dipasihan hadiah. Anjeunna ogé dititah tetep panonna supados henteu ngalahirkeun putra anu buta di Drestarastra, sapertos naon anu dilakukeun ku Ambika. Ku sabab éta, Ambalika tetep panonna tapi anjeunna semu pucet saatos ningali penampilan luar biasa Bagawan Byasa. Ku alatan éta, Pandu putrana, bapak Pandawa, lahir bulak. Drestarastra sareng Pandu ngagaduhan sadérék satengah namina Widura. Widura nyaéta putra Resi Byasa sareng pembantu Satyawati anu namina Datri. Dina waktos upacara anjeunna lumpat ka luar rohangan sareng akhirna murag ka handap sahingga Widura lahir sareng suku anu lemes. Kusabab Drestarastra lahir buta, tahta Hastinapura dipasihkeun ka Pandu. Pandu nikah ka Déwi Kunti, teras Pandu nikah pikeun kadua kalina sareng Madrim, tapi kusabab kalepatan Pandu nalika némbak kijang ku cinta, kijang ngaluarkeun sumpah yén Pandu moal ngaraos hubungan salaki sareng pamajikan, sareng upami anjeunna ngalakukeun, maka Pandu bakal maot. Sang kijang teras pupus ku robih kana bentuk aslina, nyaéta kusabab ngalaman kajadian anu goréng sapertos kitu, Pandu teras ngundang dua istrina pikeun nyuhungkeun Nu Kawasa kanggo dipasihan murangkalih. Kalayan bantosan mantra anu dipasihkeun ku Resi Druwasa, Déwi Kunti sanggup nimbalan déwa teras kénging putra. Kahiji kalina anjeunna nyobaan mantra sumping Batara Surya, sareng teu lami Kunti hamil sareng ngalahirkeun anak anu teras dipasihan nami Karna. Tapi Karna teras dibawa ka laut sareng diurus ku urang Kurawa, sahingga engké nalika perang Bharatayudha, Karna ngabantosan Kauravia. Teras pamundut Pandu, Kunti nyobian mantra deui, Batara Guru ngutus Batara Dharma pikeun ngabuahan Dewi Kunti sahingga anak anu kahiji lahir, nyaéta Yudistira, sataun saatosna Batara Bayu ogé dikirim pikeun ngabuahan Dewi Kunti sahingga Bima lahir, Batara Guru ogé ngutus Batara Indra pikeun ngabuahan Dewi Kunti sahingga Arjuna lahir sareng akhirna Batara Aswan sareng Aswin dikintun pikeun pupuk Dewi Madrim, sareng Nakula sareng Sadewa lahir. Lima putra Pandu katelah Pandawa. Buta Dretarastra nikah ka Déwi Gendari, sareng ngagaduhan salapan puluh salapan putra sareng saurang putri katelah Kurawa. Pandawa sareng Kurawa mangrupikeun dua kelompok anu ngagaduhan ciri anu béda-béda tapi asalna tina karuhun anu sami, nyaéta Kuru sareng khususna Duryudana licik sareng sok timburu kaunggulan Pandawa, sedengkeun Pandawa tenang sareng teras sabar nalika diganggu ku dulur-dulurna. Bapa urang Kurawa, nyaéta Drestarastra, resep pisan ka putra-putrana. Hal éta ngajantenkeun anjeunna sering dihasut ku lanceukna, Sengkuni, sareng putra karesepna, Duryudana, ngantepkeun anjeunna ngalakukeun rencana jahat pikeun ngaleungitkeun Pandawa. Sakali mangsa, Duryudana ngajak Kunti sareng Pandawa pikeun pakansi. Di dinya aranjeunna cicing di bumi anu parantos disayogikeun ku Duryudana. Peutingna, imahna diduruk. Tapi Pandawa tiasa disalametkeun ku Bima, anu parantos dicarioskeun ku Widura ngeunaan licik Kurawa supados aranjeunna henteu kaduruk hirup-hirup di bumi. Saatos nyalametkeun diri, Pandawa sareng Kunti lebet ka leuweung. dicarioskeun dina lakon Bale Sigala-gala Di leuweung Bima patepung sareng raksasa anu namina Arimba anu badé males ka pupusna bapakna, nyaéta Arimbaka dina pawayangan Jawa disebut Trembaka, Bima unggul sareng maéhan anjeunna, teras nikah ka lanceukna, Raseksi Hidimbi atanapi Arimbi anu bogoh ka Bima. Tina perkawinan ieu, Gatotkaca lahir. Saatos ngalangkungan leuweung leuweung, Pandawa ngaliwat Karajaan Pancala. Di dinya aya berita sumebar yén Raja Drupada ngayakeun pasanggiri memperjuangkeun Déwi Karna miluan pasanggiri, tapi ditolak ku Drupadi. Pandawa ogé ngiringan kontes éta, tapi aranjeunna nganggo baju sapertos brahmana. Pandawa ilubiung dina kompetisi meunang lima rupa kompetisi, Yudistira meunang kompetisi pikeun filsafat sareng katertiban nagara, Arjuna meunang kompetisi senjata Panah, Bima meunang kompetisi Gada sareng Nakula Sadewa meunang kompetisi Pedang. Pandawa hasil pikeun ngalakukeun éta pikeun meunang pasanggiri. Drupadi kedah nampi Pandawa salaku salakina sabab numutkeun jangji saha anu tiasa meunang persaingan anu dilakukeunana bakal janten salakina sanaos anjeunna nyimpang tina kahoyongna, anu saleresna anu dipikahoyong ku satriya. Saatos éta gelut pecah sabab balaréa gumujeng kusabab urang Brahmana henteu kedah ngiringan kana pasanggiri. Pandawa perang teras kabur. Nalika aranjeunna dugi ka bumi, aranjeunna ngawartoskeun ka indungna yén aranjeunna sumping sareng hasil ngemis. Indungna ogé maréntahkeun éta hasilna dibagi sami sareng sadaya duduluranna. Nanging, heranna, anjeunna ningali yén murangkalihna henteu ngan ukur hasil ngemis, tapi ogé awéwé. Dina Pedalangan Jawa Drupadi ngan ukur janten pamajikan Yudistira / Puntadewa. Pikeun nyegah gelut anu sengit, Karajaan Kuru dibagi dua janten dibagi antara Pandawa sareng maréntah Karajaan Kuru utama tengah kalayan ibukota Hastinapura, sedengkeun Pandawa maréntah Karajaan Kurujanggala kalayan ibukota Indraprastha. Boh Hastinapura sareng Indraprastha ngagaduhan istana megah, sareng di dinya Duryudana terjun ka kolam renang anu disangka lantai, janten anjeunna janten sumber ejekan pikeun Drupadi. Ieu ngajantenkeun anjeunna langkung ambek ka Pandawa Pikeun ngarebut kakayaan sareng karajaan Yudhisthira, Duryudana ngajak Yudhisthira maén dadu, ieu didasarkeun tina ideu ti Arya Sengkuni. Nalika pertandingan dadu, Duryudana diwakilan ku Sengkuni salaku dealer dadu anu ngagaduhan kakuatan pikeun curang. Dina mimiti pertandingan taruhan senjata perang, taruhan taruhan terus ningkat kana taruhan khasanah karajaan, teras para prajurit dipertarung, sareng dugi ka puncak pertandingan Karajaan dipertaruhkan, Pandawa kaleungitan sadaya harta sareng karajaan Pandawa kalebet saderek ogé dipertaruhkan sareng pamustunganana pamajikanana Drupadi dipertaruhkan. Ahirna, Yudhisthira éléh sareng Drupadi dipénta pikeun sumping ka arena judi sabab éta milik Duryudana. Duryudana ngutus hansipna pikeun ngukut Drupadi, tapi Drupadi nolak. Saatos gagal, Duryudana maréntahkeun adi na Dursasana, pikeun nyandak Drupadi. Drupadi anu nolak datang, kaséréd ku Dursasana anu teu boga rasa ditarik nepi ka arena judi, tempat salakina jeung mertuana kumpul. Kusabab anjeunna éléh, Yudhisthira sareng sadaya adi-adi na dipénta ngaleupaskeun baju, tapi Drupadi nolak. Dursasana, anu watekna kasar, narik lawon anu diagem ku Drupadi, tapi lawonna teras teu liren sabab anjeunna ngagaduhan kakuatan gaib ti Pangéran Kresna anu ningali Draupadi dina bahaya. Bantosan Sri Kresna disababkeun ku kalakuan Draupadi tina ngabungkus tatu Sri Kresna nalika upacara Rajasuya di Indraprastha. Drupadi anu éra sareng kasinggung ku sikep Dursasana sumpah moal ngagulung rambutna dugi ka dikerem ku getih Dursasana. Bima ogé sumpah pikeun maéhan Dursasana sareng nginum getihna engké. Saatos sumpah, Drestarastra ngaraos musibah bakal tumiba ka turunanana, maka anjeunna ngabalikeun sadaya harta Yudhisthira anu parantos dipasihan. Duryudana, anu kuciwa Drestarastra parantos ngembalikan sadaya harta milik anjeunna, ngayakeun pertandingan dadu pikeun kadua kalina. Kali ieu, saha waé anu éléh kedah mundur ka leuweung salami 12 taun, saatos éta hirup dina sataun samaran, sareng saatos éta ngagaduhan hak pikeun balik deui ka karajaanna deui. Pikeun kadua kalina, Yudhisthira nuturkeun pertandingan sareng sakali deui anjeunna élé eleh ieu, Pandawa dipaksa ninggalkeun karajaanna salami 12 taun sareng hirup dina jaman samaran salami sataun. Saatos jaman pengasingan réngsé sareng saluyu sareng perjanjian anu sah, Pandawa ngagaduhan hak pikeun nyandak deui karajaan anu dipimpin ku Duryudana. Nanging Duryudana jahat. Anjeunna henteu hoyong masrahkeun karajaan ka Pandawa, sanaos dugi ka tungtung jarum. Hal éta ngajantenkeun Pandawa béak kasabaran. Sri Kresna ngalaksanakeun misi anu damai, tapi gagal sababaraha kali. Tungtungna, gelut éta teu bisa dihindari Pandawa nyobian milari sekutu sareng anjeunna kéngingkeun bantosan pasukan ti Karajaan Kekaya, Karajaan Matsya, Karajaan Pandya, Karajaan Chola, Karajaan Kerala, Karajaan Magadha, Karajaan Yadawa, Karajaan Dwaraka, sareng seueur deui. Salain ti éta satria hébat di Bharatawarsha sapertos Drupada, Setyaki, Drestadjumna, Srikandi, sareng anu sanésna nyandak sisi Pandawa. Samentawis éta Duryudana naros ka Bhishma pikeun mingpin pasukan Kurawa sareng nunjuk anjeunna salaku komandan pangluhurna tentara Kurawa. Kurawa dibantuan ku Resi Dorna sareng putrana Aswatama, lanceuk lalaki Kurawa, Jayadrata, ogé Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, guru Karna sareng seueur deui. Bharatayuda Perangna lumangsung 18 dinten perang éta, seueur ksatria anu maot, sapertos Abhimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Prabu Matswapati sareng putra-putrana Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka, Bhogadatta, Sengkuni, sareng seueur deui. 18 dinten éta dieusian ku getih sareng pembantaian anu pikasieuneun. Dina akhir dinten ka dalapan belas, ngan sapuluh ksatria anu salamet tina perang, nyaéta Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa sareng Kartamarma. Saatos perang réngsé, Yudistira dinobatkeun janten Raja Hastinapura kalayan gelar King Kalimataya. Saatos maréntah sababaraha lami, anjeunna masrahkeun tahta ka putu Arjuna, Parikesit. Teras, Yudhisthira sareng Pandawa sareng Drupadi naék Himalaya salaku tujuan akhir tina perjalanan aranjeunna. Di dinya aranjeunna maot sareng dugi ka surga. Dicaritakeun dina carita Pandawa Séda Parikesit maréntah Karajaan Kuru kalayan adil sareng bijaksana. Anjeunna nikah ka Madrawati sareng ngagaduhan putra jenenganana Janamejaya. Janamejaya nikah ka Wapushtama Bhamustiman sareng ngagaduhan putra jenengan Setanika. Setanika nyaéta putra Aswamedhadatta. Aswamedhadatta sareng turunanana teras mingpin Karajaan Kuru Wangsa di Hastinapura.
Mahabharata Sanskerta महाभारत adalah sebuah karya sastra kuno yang berasal dari India. Secara tradisional, penulis Mahabharata adalah Begawan Byasa atau Vyasa. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata sampai kisah diterimanya Pandawa di surga. Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sanskerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Latar belakang. Mahabharata merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana untuk Maharaja Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular. Sesuai dengan permohonan Janamejaya, kisah tersebut merupakan kisah raja-raja besar yang berada di garis keturunan Maharaja Yayati, Bharata, dan Kuru, yang tak lain merupakan kakek moyang Maharaja Janamejaya. Kemudian Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura yang menjadi tokoh utama Mahabharata. Mereka adalah Santanu, Chitrāngada, Wicitrawirya, Dretarastra, Pandu, Yudistira, Parikesit dan Janamejaya. Mahabharata banyak memunculkan nama raja-raja besar pada zaman India Kuno seperti Bharata, Kuru, Parikesit Parikshita, dan Janamejaya. Mahabharata merupakan kisah besar keturunan Bharata, dan Bharata adalah salah satu raja yang menurunkan tokoh-tokoh utama dalam Mahabharata. Kisah Sang Bharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata, raja legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, wilayah kekuasaanya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata konon meliputi Asia Selatan. Peta "Bharatawarsha" India Kuno atau wilayah kekuasaan Maharaja Bharata. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India Utara. Silsilah Wangsa Kuru Kurua Gangā Shāntanua Satyavati Pārāshara Bhishma Chitrāngada Ambikā Vichitravirya Ambālikā Vyāsa Dhritarāshtrab Gāndhāri Shakuni Kunti Pāndub Mādri Karnac Yudhishthirad Bhimad Arjunad Subhadrā Nakulad Sahadevad Duryodhanae Dussalā Dushāsana 98 sons Abhimanyuf Uttarā Parikshit Janamejaya Key to Symbols Male blue border Female red border Pandavas green box Kauravas yellow box Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa. Kerabat Wangsa Kaurawa Dinasti Kuru adalah Wangsa Yadawa, karena kedua Wangsa tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang kesatria dari Wangsa Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam silsilah Wangsa Yadawa, lahirlah Prabu Basudewa Krisna , Raja di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna, yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa bersaudara sepupu dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa. Prabu Santanu dan keturunannya Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan anak yang diberi nama Dewabrata atau Bisma. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, melahirkan masing-masing seorang putera, nama mereka Pandu dari Ambalika dan Dretarastra dari Ambika. Dretarastra terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan Supata=Kutukan bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Lalu Batara guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu Yudistira Kemudian Batara Guru mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti shingga lahirlah Harjuna, lalu Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, dan yang terakhir, Batara Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Kelahiran Yudistira, Pandawa Kelahiran Duryudana, Korawa Dretarastra yang buta menikahi Gandari, dan memiliki seratus orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Korawa. Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Widura memiliki seorang anak bernama Sanjaya, yang memiliki mata batin agar mampu melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Keluarga Dretarastra, Pandu, dan Widura membangun jalan cerita Mahabharata. Pandawa dan Korawa Pandawa Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta Dewanagari पाण्डव; Pāṇḍava, yang secara harfiah berarti anak Pandu Dewanagari पाण्डु; IAST Pāṇḍu, yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Pandawa dan Korawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Korawa khususnya Duryodana bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Korawa Korawa atau Kaurawa Dewanagari कौरव; IAST kaurava adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti "keturunan raja Kuru." Istilah Korawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian Arti luas Korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Kuru adalah nama seorang maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Korawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal. Arti sempit Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra sulung Wicitrawirya keturunan Raja Kuru, yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran namun digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa. Dalam budaya pewayangan Jawa, istilah ini merujuk kepada kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata, sehingga Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa. Ayah para Korawa, yaitu Dretarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sangkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryodana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa. Perseteruan tiada akhir. Pada suatu ketika, Duryodana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Disanamereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryodana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa diselamatkan oleh Bima sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan rakshasa Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu rakshasi Hidimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Panchala. Disanatersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Dropadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana. Arjuna mewakili para Pandawa untuk memenangkan sayembara dan ia berhasil melakukannya. Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Tak pelak lagi, Dropadi menikahi kelima Pandawa. Permainan dadu Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Korawa. Korawa memerintah Kerajaan Kuru induk pusat dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryodana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Dropadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa. Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira secara perlahan namun pasti, Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Yudistira yang gemar main dadu tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura dengan harapan dapat merebut harta dan istana milik Duryodana. Pada saat permainan dadu, Duryodana diwakili oleh Sangkuni yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Satu persatu kekayaan Yudistira jatuh ke tangan Duryodana, termasuk saudara dan istrinya sendiri. Dalam peristiwa tersebut, pakaian Dropadi berusaha ditarik oleh Dursasana karena sudah menjadi harta Duryodana sejak Yudistira kalah main dadu, namun usaha tersebut tidak berhasil berkat pertolongan gaib dari Sri Kresna. Karena istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Dretarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan. Duryodana yang merasa kecewa karena Dretarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus menyerahkan kerajaan dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun. Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryodana. Namun Duryodana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Misi Damai Sri Kresna / Dharmaduta Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan terjadi. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para Raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa. Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci Bisma, Drona, dan Widura. Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi. Persiapan perang Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut. Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata dimedan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas. Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi. Persiapan perang Pihak Pandawa Melihat tidak ada harapan untuk berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta saudara-saudaranya untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan Indiautara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, KerajaanMagadha, dan masih banyak lagi. Persiapan perang Pihak Korawa Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkan-nya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran Korawa dibantu oleh Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, guru Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak lagi para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra. Pihak netral. Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna, Baladewa, adalah pihak yang netral dalam peperangan tersebut. Divisi pasukan dan persenjataan. Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi-bagi ke dalam divisi akshauhini. Setiap divisi berjumlah prajurit yang terdiri dari pasukan berkereta kuda pasukan penunggang gajah pasukan penunggang kuda tentara biasa Perbandingan jumlah mereka adalah 1135. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total pasukan= orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan= orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang= orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India. Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohnya panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Paraksatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung. Formasi militer. Dalam setiap perang di zaman Mahabharata, formasi militer adalah hal yang penting. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Formasi militer tersebut sebagai berikut Krauncha Vyuha formasi bangau Chakra Vyuha formasi cakram / melingkar Kurma Vyuha formasi kura-kura Makara Vyuha formasi buaya Trisula Vyuha formasi trisula Sarpa Vyuha formasi ular Kamala atau Padma Vyuha formasi teratai Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu seperti elang, bangau, dll sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip dengan suatu hewan/hal tertentu. Aturan perang. Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat “peraturan tentang perlakuan yang etis”—Dharmayuddha—sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam. Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian. Dua ksatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama kuda, gajah, atau kereta. Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri. Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar. Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang. Tidak boleh menyerang wanita. Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung. Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan juga, para ksatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang. Kebanyakan peraturan tersebut dilanggar sesekali oleh kedua belah pihak. Jalannya Pertempuran. Persiapan Tempur Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah pemenangnya. Beberapa saat sebelum perang Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi seperti burung elang pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Kripa. Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk “formasi Vajra”. Karena pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya dari serangan langsung karena Resi Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk menang. Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi. Para Raja dan ksatria gagah perkasa tampak siap untuk berperang. Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para ksatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana, Wirata, dan Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna, Kritawarma, Wikarna, Burisrawas, dan Kripa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup “sangkala” terompet kerang mereka tanda pertempuran akan segera dimulai. Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil, semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya Arjuna menjadi gelisah untuk berperang melawan saudara-saudaranya. Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang ksatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawad Gita. Visvarupa Sri Krisna Dalam Bhagawad Gita, Kresna menyuruh Arjuna untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria perkasa di kedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur. Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan para Korawa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai. Pertempuran hari pertama. Setelah isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu putra Arjuna melihat hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putra Raja Wirata – Utara – maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara yang menaiki gajah perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh, Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus baju zirah Utara. Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur, Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari hal itu segera melindungi Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus, ia memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika. Ketidakmampuan Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta di hari pertama, membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa. Pertempuran hari kedua. Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan. Pertempuran hari ketiga. Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin membunuh Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh Arjuna. Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang tak terhitung jumlahnya. Abimanyu dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa. Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil sejata cakranya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa. Pertempuran hari keempat . Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya. Saat pertempuran di hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah panji kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan mereka. Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat tersebut. Pertempuran hari kelima. Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan dengan Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya. Bima pergi meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya. Pertempuran hari keenam. Yudistira menyuruh Drestadyumna agar membentuk formasi Makara, dengan Drupada dan Arjuna sebagai pemimpin garis depan. Untuk menandingi kekuatan Yudistira, Bisma menginstruksikan agar pasukan Korawa membentuk formasi burung bangau, dengan Balhika dan angkatan perangnya sebagai pemimpin garis depan. Bima bertarung melawan Drona dengan sengit. Bima memanah kusir kereta Drona sehingga tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya, lalu menghancurkan sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona dihadapi oleh Drestadyumna. Sementara itu, Bima melancarkan serangan ke garis pertahanan yang terdiri dari putra-putra Dretarastra, yaitu Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya, Jayasena, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna Karna adik Duryodana, bukan Karna sahabat Duryodana. Mereka semua mengepung Bima dari segala penjuru. Bima meloncat turun dari keretanya sambil membawa gada. Di tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau. Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona dengan maksud membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima menghancurkan pasukan Korawa dengan lebih mudah. Setelah menyaksikan Bima dalam bahaya, Yudistira mengirim Abimanyu untuk membantu pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra Dretarastra, sementara Duryodana dihadapi oleh lima putra Dropadi, yaitu Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutakirti. Menjelang sore hari, Bisma masih mengamuk menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya, matahari terbenam dan seluruh pasukan ditarik mundur pada malam hari itu. Pertempuran hari ketujuh. Pada hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah instruksi Bisma membentuk formasi Mandala. Untuk mengantisipasinya, Yudistira menginstruksikan agar pasukan Pandawa membentuk formasi Bajra. Arjuna berhasil merusak formasi Mandala, sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara itu, Drona bertarung menghadapi Wirata Raja Matsya. Dengan serangan panahnya, Drona membuat kereta perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata meloncat dari keretanya untuk berpindah ke kereta Sangka, putranya. Meskipun Wirata dan Sangka sudah menggabungkan kekuatan, namun Drona masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona berhasil menembakkan empat batang panah penembus baju zirah ke arah Sangka. Panah tersebut bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut nyawanya. Sementara itu, Satyaki bertarung menghadapi raksasa Alambusa, sedangkan Drestadyumna menghadapi Duryodana. Satyaki berhasil mengalahkan raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai tubuh Duryodana dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus tubuh kuda dan kusir kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut lumpuh. Duryodana meloncat dari keretanya lalu diselamatkan oleh pamannya, Sangkuni dari Gandhara. Di tempat lain, Srikandi maju menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria tersebut bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan pasukan Srinjaya, sekutu Pandawa. Pada hari tersebut, para kesatria Korawa lebih banyak menderita kekalahan dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut membuat Dretarastra, ayah para Korawa merasa sedih. Sanjaya, penasihat Dretarastra mengatakan bahwa ia tidak perlu bersedih sebab kehancuran putra-putranya disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Sanjaya menambahkan, bahwa kematian para kesatria yang gugur di medan perang akan membuka jalan surga bagi mereka. Pertempuran hari kedelapan. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra, yaitu Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa. Sunaba, Adityaketu, Aparajita dan Wisalaksa gugur dengan kepala terpenggal, sedangkan yang lainnya gugur karena senjata panah yang diluncurkan Bima. Setelah menyaksikan kematian mereka, Duryodana memerintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu pun putra Dretarastra yang berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian delapan saudaranya. Sementara itu, Sangkuni putra Subala, dengan didampingi oleh putra Hredika dari kerajaan Satwata, menyerbu pasukan Pandawa. Pasukan penyerbu tersebut merupakan kavaleri gabungan dari berbagai kerajaan di India, seperti Kamboja, Sindhu, Mahi, Aratta, dll. Untuk menandinginya, Irawan putra Arjuna maju ke medan laga sambil membawa pasukan berkuda dalam jumlah besar. Dengan pedang dan panah, Irawan berhasil membunuh para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba. Setelah pasukan putra Subala kacau balau, Duryodana mengirim raksasa Alambusa untuk membunuh Irawan. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Irawan melawan Alambusa. Keduanya sama-sama menggunakan kekuatan sihir, sama-sama sakti dan saling menghancurkan. Saat Irawan memunculkan seekor naga raksasa, Alambusa menanggapinya dengan menjelma menjadi seekor burung garuda raksasa. Burung siluman tersebut berhasil membunuh naga siluman yang dipanggil Irawan. Hal itu membuat Irawan terpaku menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga, Alambusa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan. Pertempuran hari kesembilan. Pada hari kesembilan, Abimanyu putra Arjuna menghancurkan laskar Korawa sambil mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak mampu menghadapinya, karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang kedua. Melihat prajuritnya tercerai-berai, Duryodana memutuskan untuk mengirim raksasa Alambusa, putra Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti perintah Duryodana. Ribuan prajurit Pandawa mati di tangannya, sehingga lima putra Dropadi bertindak. Mereka mencoba menahan serangan raksasa tersebut, namun tidak berhasil. Sebaliknya, justru nyawa mereka yang terancam. Setelah melihat para saudara tirinya sedang terancam, Abimanyu segera datang membantu mereka sekaligus menghadapi raksasa Alambusa. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Abimanyu melawan raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan senjata panah, Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut turun dari keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan. Setelah Alambusa mengalami kekalahan, Bisma segera menghadapi Abimanyu. Dengan dikawal oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa, Bisma maju menerjang Abimanyu. Pada saat itu juga, Arjuna datang membantu Abimanyu. Kemudian Krepa menyerang Arjuna sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan tersebut, Satyaki datang membantu Arjuna. Aswatama putra Drona, datang membantu Krepa dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki mampu bertahan, bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah Aswatama lelah menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya tersebut. Sedangkan dari pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Arjuna melawan Drona. Meskipun demikian, baik Arjuna maupun Drona mampu bertahan hidup sebab mereka sama-sama sakti. Kemudian, Kresna mengingatkan Arjuna untuk segera membunuh Bisma. Maka dari itu, Arjuna segera memerintahkan Kresna untuk menjalankan keretanya menuju Bisma. Saat menghadapi Bisma, Arjuna masih segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga pertarungan terlihat tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat keadaan itu, Kresna menjadi marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan Kresna. Sebaliknya, ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna. Menanggapi hal tersebut, Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu memeluk kaki Kresna untuk menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi, Arjuna memohon agar Kresna meredam amarahnya. Kresna hanya diam setelah mendengar permohonan Arjuna. Kemudian mereka kembali menaiki kereta untuk melanjutkan peperangan. Pertempuran hari kesepuluh. Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan Srikandi di depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia merupakan seorang wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi. Disamping itu, Srikandi merupakan reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya. Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya. Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya. Setelah Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma. Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa. Pertempuran hari kesebelas. Setelah kekalahan Bisma pada hari kesepuluh, Karna memasuki medan laga dan melegakan hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana. Pertempuran hari kedua belas. Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta — Susarma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, gugur di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa. Pertempuran hari ketiga belas. Ukiran di Kuil Hoysaleswara Halebid, India, yang menggambarkan Abimanyu saat terkurung dalam formasi Cakrabyuha. Duryodana memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha di zaman sekarang disebut Assam, sebuah wilayah di India. Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat di antara seluruh kesatria penunggang gajah pada zamannya. Bhagadatta menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama Supratika. Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan sangat sengit. Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain, empat Pandawa sulit mematahkan formasi Cakrabyuha yang disusun Drona. Yudistira melihat hal tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk merusak formasi Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu memasuki formasi tersebut, empat Pandawa melindunginya di belakang. Namun, keempat Pandawa dihadang Jayadrata sehingga Abimanyu memasuki formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya, Abimanyu dikepung oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan serentak. Menjelang akhir hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susarma gugur di tangan Arjuna. Sementara itu, Abimanyu gugur karena terjebak dalam formasi Cakrabyuha. Setelah mengetahui kematian putranya, Arjuna marah pada Jayadrata yang menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan membakar dirinya sendiri. Pertempuran hari keempat belas. Saat berusaha mencari Jayadrata di medan pertempuran, Arjuna menghancurkan satu aksauhini tentara prajurit Korawa. Pasukan Korawa melindungi Jayadrata dengan baik, untuk mencegah Arjuna menyerangnya. Akhirnya, menjelang sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata dikawal oleh Karna dan lima kesatria perkasa lainnya. Setelah melihat keadaan temannya, Kresna mengangkat Sudarsana Cakra-nya untuk menutupi matahari, menipu seolah-olah matahari terbenam. Seluruh prajurit menghantikan pertempuran karena merasa bahwa siang hari telah berakhir. Dengan demikian, Jayadrata tanpa perlindungan. Saat matahari menampakkan sinar terakhirnya di hari tersebut, Arjuna menembakkan panah dahsyatnya yang kemudian memenggal kepala Jayadrata. Pertempuran berlanjut setelah matahari terbenam. Saat bulan tampak bersinar, Gatotkaca, putra Bima membunuh banyak kesatria, dan menyerang lewat udara. Karna menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit, sampai akhirnya Karna mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi yang diberikan kepadanya oleh Dewa Indra. Gatotkaca yang menerima serangan tersebut lalu memperbesar ukuran tubuhnya. Ia gugur seketika kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pertempuran hari kelima belas. Setelah Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas. Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra senjata ilahi yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama – putranya – gugur dalam perang tersebut. Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur. Drona mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira berkata "Ashwathama Hatha Kunjara", namun dua kata terakhir "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas perintah Kresna versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga Drona tidak mendengar kata "gajah". Sebelum peristiwa tersebut, kereta perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja Raja Kebenaran, melayang beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah. Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya. Setelah perang di hari itu berakhir, Kunti ibu para Pandawa secara rahasia pergi menemui Karna, putra yang dibuangnya, dan memintanya untuk mengampuni nyawa para Pandawa, karena mereka adalah adiknya. Karna berjanji pada Kunti bahwa ia akan mengampuni nyawa para Pandawa, kecuali Arjuna. Pertempuran hari keenam belas. Pada hari keenam belas, Karna menjadi panglima tertinggi pasukan Korawa. Ia membunuh banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran sengit terjadi antara Arjuna melawan Karna. Bahkan Kresna memuji Karna atas keberaniannya. Akhirnya Karna berhasil memutuskan tali busur Arjuna. Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna, matahari terbenam. Karena memperhatikan peraturan peperangan, Karna mengampuni nyawa Arjuna. Ada versi berbeda mengenai akhir hari kedelapan belas. Diceritakan bahwa Karna bertempur dengan gagah berani meski dikelilingi para jendral pasukan Pandawa. Mereka semua tidak mampu melawannya. Karna memberi serangan mematikan pada pasukan Pandawa sehingga mereka melarikan diri. Kemudian Arjuna berhasil mematahkan senjata Karna dengan senjatanya sendiri, dan juga memberikan serangan mematikan pada pasukan Korawa. Tak lama kemudian matahari terbenam, dan karena kegelapan dan debu membuat pertempuran berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa ditarik mundur, dengan tujuan menghindari pertempuran di malam hari. Pertempuran hari ketujuh belas. Karna mendorong roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur pada saat perang Baratayuda sebelum kematiannya Pada hari ketujuh belas, Karna mengalahkan Bima dan Yudistira dalam pertempuran, tetapi nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan pertarungannya melawan Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna terperosok ke dalam lumpur sehingga Karna meminta izin untuk menghentikan pertarungan sejenak. Melihat kesempatan tersebut, Kresna mengingatkan Arjuna tentang sikap Karna yang tidak berbelas kasihan pada Abimanyu saat Abimanyu terbunuh setelah kehilangan senjata dan keretanya. Terungkitnya kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna perih kembali. Kemudian, Arjuna menembakkan panahnya untuk memenggal Karna, pada saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terprosok ke dalam lumpur. Pada hari yang sama, Bima menghancurkan kereta Dursasana dengan gadanya. Bima menangkap Dursasana lalu membunuhnya, sehingga terpenuhilah sumpah yang dibuatnya saat Dropadi dipermalukan. Pertempuran hari kedelapan belas. Pada hari kedelapan belas, Salya Raja Madra diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan posisi Karna. Pada hari itu juga, Yudistira membunuh Raja Salya, Sadewa membunuh Sangkuni, dan Bima membunuh para adik Duryodana yang masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia telah dikalahkan, Duryodana lari dari medan pertempuran lalu beristirahat di sebuah danau. Ahirnya para Pandawa berhasil menangkapnya. Di bawah pengawasan Baladewa, pertandingan gada berlangsung antara Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya Duryodana mengalami kekalahan. Aswatama, Krepa, dan Kertawarma bertemu Duryodana pada saat kesatria tersebut sedang sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan dendamnya. Kemudian pada malam hari, mereka menyerang perkemahan para Pandawa, lalu membunuh lima putra Pandawa Pancawala, Drestadyumna dan Srikandi. Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima. Pada malam hari, Aswatama bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa. Akhir Kisah Mahabharata. Pada akhir hari ke-18, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Kripa dan Kritawarma. Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Akhir kisah perang Mahabharata termuat dalam 8 kitab Astadasaparwa yaitu Kitab Striparwa, berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya. Santiparwa, Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja. Anusasanaparwa, Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang. Aswamedhikaparwa, Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. Asramawasikaparwa, Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri. Mosalaparwa, Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana. Mahaprastanikaparwa, Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Swargarohanaparwa. Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma. Setelah memerintah selama beberapa lama, Yudistira menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Akhirnya Yudistira berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan hatinya, oleh anugerah Dewa Dharma ia diizinkan masuk surga sebagai seorang manusia. Penyusun Yohanes Gitoyo, S Pd. Sumber Gambar Serial TV Mahabharat, Produksi StarTV.
Indonesia Meneliti silsilah wayang dalam cerita Mahabharata tersebut, kita akan mendapat kesulitan kiranya, karena pada cerita itu terdapat dua jalur silsilah yang dihasilkan oleh dua kepercayaan, yaitu silsilah Mahabharata gaya India dan silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa. Sebagaimana telah kita ketahui, cerita Mahabharata adalah hasil karya sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa, maka silsilahnyapun tentu silsilah yang berdasarkan cerita Hindu di India, dan bukan keturunan dari para Dewa, namun para Pandawa merupakan keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India. Lain halnya dengan silsilah para Pandawa menurut gaya Indonesia, bahwa para Pandawa adalah keturunan dari para dewa. Dari dewa turun temurun sampai kepada raja-raja yang memerintah di tanah Jawa. Cerita Mahabharata versi Indonesia tersebut telah disesuaikan dengan tradisi bangsa Indonesia, di mana yang menjadi pusat perhatian dan pusat perkembangan silsilah yaitu Batara Guru, maksudnya agar masyarakat pada waktu itu percaya bahwa para raja Jawa adalah keturunan para dewa. Menurut Mahabharat versi India, susunan silsilah itu disusun sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah Prabu Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja yaitu Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Prabu Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu hingga sampai Pandawa dan Kurawa. Sunda Nalungtik katurunan bonéka wayang dina carita Mahabarata, urang bakal hésé, sabab dina carita éta aya dua garis silsilah anu dihasilkeun ku dua kapercayaan, nyaéta garis keturunan gaya India tina Mahabharata sareng garis keturunan Mahabharata versi Pustaka. Raja Purwa. Sakumaha anu parantos urang tingali, carita Mahabarata mangrupikeun hasil tina pustaka India anu museur ka Lord Shiva, janten nasabna tangtosna dumasar kana carita Hindu di India, sareng sanés katurunan ti Déwa, tapi Pandawa mangrupikeun katurunan ti Raja Nahusta, a raja di India. Béda sareng nasab Pandawa numutkeun gaya Indonésia, yén Pandawa turunan déwa. Ti para déwa turun-tumurun dugi ka raja-raja anu maréntah di bumi Jawa. Versi Bahasa Indonésia carita Mahabarata parantos diluyukeun sareng tradisi masarakat Indonésia, dimana pusat perhatian sareng pusat pangwangunan silsilah nyaéta Batara Guru, hartosna yén masarakat dina waktos éta yakin yén raja-raja Jawa katurunan dewa . Numutkeun kana versi India Mahabarata, struktur silsilahna terstruktur sapertos kieu, raja munggaran anu maréntah India nyaéta Raja Nahusta salaku pangadeg nagara Hastina anu ngantunkeun raja-raja, nyaéta Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta , Prabu Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Raja Santanu ka Pandawa sareng Kaurawa.
Indonesia Cerita Mahabarata adalah kisah atau wiracarita sastra Hindu Klasik. Ceritanya sendiri, sesuai dengan namanya, berputar pada cerita keluarga Bharata. Rentang waktu sebagai latarnya berlangsung antara masa 400 tahun sebelum dan sesudah Masehi. Sunda Carita Mahabarata mangrupikeun carita sastra atanapi epik Hindu klasik. Carita éta nyalira, leres sareng namina, ngurilingan carita kulawarga Bharata. Jangka waktos salaku setting lumangsung antara 400 taun sateuacan sareng saatos Al Masih. Bagaimana cara menggunakan terjemahan teks Indonesia-Sunda? Semua terjemahan yang dibuat di dalam disimpan ke dalam database. Data-data yang telah direkam di dalam database akan diposting di situs web secara terbuka dan anonim. Oleh sebab itu, kami mengingatkan Anda untuk tidak memasukkan informasi dan data pribadi ke dalam system translasi anda dapat menemukan Konten yang berupa bahasa gaul, kata-kata tidak senonoh, hal-hal berbau seks, dan hal serupa lainnya di dalam system translasi yang disebabkan oleh riwayat translasi dari pengguna lainnya. Dikarenakan hasil terjemahan yang dibuat oleh system translasi bisa jadi tidak sesuai pada beberapa orang dari segala usia dan pandangan Kami menyarankan agar Anda tidak menggunakan situs web kami dalam situasi yang tidak nyaman. Jika pada saat anda melakukan penerjemahan Anda menemukan isi terjemahan Anda termasuk kedalam hak cipta, atau bersifat penghinaan, maupun sesuatu yang bersifat serupa, Anda dapat menghubungi kami di →"Kontak" Kebijakan Privasi Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi
cerita mahabarata versi bahasa sunda